Faktor Yang Berhubungan Dengan Konsumsi Minuman Bersoda Pada Remaja Di Sma Al-azhar Syifa Budhi Pekanbaru Tahun 2018
Skripsi
Published 2018
Rici Wulandari
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minuman bersoda merupakan minuman berpemanis yang juga mengandung
soda, sering disebut sebagai minuman ringan berkarbonasi (Putri, 2016)
Minuman berkarbonasi merupakan minuman yang sudah tidak memiliki
kandungan alcohol. Minuman berkarbonasi atau sering disebut minuman
bersoda banyak beredar di masyarakat. Akan tetapi sebagian besar
masyarakat hanya mengetahui sedikit atau bahkan sama sekali tidak
mengetahui bahaya dari minuman bersoda tersebut. Serta masyarakat banyak
yang kesulitan untuk mengurangi konsumsi minuman bersoda ini
(Eviliananingtyas, 2014)
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dengan masa
dewasa yang berjalan dari usia 12 tahun – 21 tahun. Masa remaja merupakan
masa labil yang cenderung meniru dan mencoba sesuatu, perilaku yang
kebarat-baratan seperti perilaku mengkonsumsi soft drink. Soft drinks
merupakan minuman berbahan dasar air yang mengandung pemanis,
pewarna, perasa, dan terkadang mengandung sari buah atau bahan alami
lainnya dengan tingkat keasaman tertentu (Purba, 2013).
Menurut Brown et al (2005), 32% anak usia sekolah mengkonsumsi hingga
2,67 liter soft drinks per hari, 32% mengkonsumsi lebih dari atau sama
dengan 2,7 liter dan hanya 36% yang tidak mengkonsumsi soft drinks. Jumlah
konsumsi tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsumsi soft drinks
pada usia pra sekolah, tetapi tidak lebih tinggi dari remaja. Lien et al (2006)
yaitu konsumsi soft drinks pada remaja di Norwegia menunjukkan bahwa
rata-rata remaja mengkonsumsi soft drinks 1-6 kali setiap minggunya (Purba,
2013).
2
Fenomena yang terjadi saat ini remaja yang gemar mengonsumsi bersoda
dibalik kesegarannya ternyata berdampak pada masalah kesehatan. Dampak
tersebut tidak langsung muncul seketika, tetapi butuh waktu yang panjang
apabila mengonsumsi secara berlebihan seperti terjadinya kelebihan berat
badan (obesitas) dan gastritis. Dampak lain yang ditimbulkan akibat
mengonsumsi minuman bersoda terjadi masalah kesehatan gigi yaitu resiko
karies gigi. Dampak langsung mengonsumsi soft drink yaitu: menyebabkan
terjadinya sendawa, mengakibatkan volume lambung lebih cepat penuh dan
membuat perut gembung, kemuakan serta nyeri lambung dibandingkan
dengan air mineral dan minuman tanpa karbondioksida (Muthamainnah,
2012).
Minuman ringan terdiri atas minuman ringan berkarbonasi dan tidak
berkarbonasi. Komposisinya terdiri dari air dengan penambahan gula dan
bahan perasa berupa sari buah atau sejenisnya. Salah satu jenisnya adalah
minuman bersoda dengan komposisi air yang diberikan karbondioksida,
pemanis berkalori, pewarna, asam phosphor, asam sitrat, kafein, dan
pengawet seperti potassium dan sodium benzoat. Beberapa jenis minuman
bersoda yang cukup dikenal di Indonesia seperti Coca-cola, Sprite, Fanta, Big
Cola, Pepsi dan lainnya (Meiriasari & Mulyani, 2013).
Penjualan minuman bersoda setiap tahunnya mengalami peningkatan baik di
dunia maupun di Indonesia. Selama 5 tahun (2003-2008), penjualan minuman
bersoda di Amerika Serikat meningkat dengan rata-rata per tahun sebesar
3,2%. Sementara di Indonesia, rata-rata penjualan minuman bersoda antara
tahun 2004 hingga 2009 mencapai 7,2% per tahun (Fauzia et al., 2012).
Menurut data penjualan di Pekanbaru tahun 2007 realisasi penjualan hanya
101 %, pada tahun 2008 realisasi penjualan terjadi kenaikan 106 %,
sedangkan pada tahun 2009 realisasi penjualan menurun menjadi 96 %, dan
selanjutnya pada tahun 2010 realisasi penjualan kembali mengalami kenaikan
102%, sedang pada tahun 2011 penjualan kembali naik 103 % selisish 1 ?ri penjualan di tahun 2010 (Junaidi, 2012).
3
Menurut data dari Word Health Organization (WHO) tahun 2007 prevalensi
kegemukan meningkat sangat tajam, sebagai contoh 20,5% penduduk Korea
Selatan tergolong overweight 1,5% tergolong obesitas. Di Thailand 16%
penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obesitas. 6 kota di
New York, prevalensi obesitas terjadi peningkatan dari 20,2% (2007) menjadi
25,9% (2008) pada kelompok umur 1-15 tahun (persentil > 95 th). Sebanyak
18% remaja dan 25% orang dewasa di Indonesia mengalami obesitas (Salam,
2010). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi kegemukan pada remaja umur 12-15 tahun di Indonesia sebesar
10,8 %, terdiri dari 8,3% overweight dan 2,5 obesitas (Muthoharoh, 2017).
Data dari Profil Kesehatan Provinsi Riau tahun 2013, anak umur 13-18 tahun
gemuk di provinsi Riau ditemukan sebesar 8,3% prevalensi obesitas sebesar
1,7%, umur 16-18 tahun gemuk adalah sebesar 2,4?n obesitas sebesar
0,7%, umur ? 15 tahun menunjukkan bahwa, prevalensi obesitas sentral
sebesar 27,0%. Prevalensi obesitas sentral tertinggi ditemukan di kota
Pekanbaru yaitu sebesar 35,3?n terendah di Rokan Hulu sebesar 14,8%.
(Riskesda Provinsi Riau, 2013)
Menurut data dari Word Health Organization (WHO) di dunia tahun 2010,
mendapati bahwa jumlah penderita gastritis di Negara Inggris 22%, China
31%, Jepang 14,5%, Kanada 35?n Perancis 29,5% (Bryan Kevin Mawey
Adeleida Kaawoan Hendro Bidjuni & Program, 2014). Persentase dari angka
kejadian gastritis di Indonesia menurut Word Health Organization (WHO)
tahun 2009 adalah 40,8%. Angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di
Indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274,396 kasus dari 238,452,952
jiwa penduduk. Berdasarkan profil kesehatan di Indonesia tahun 2011,
gastritis merupakan salah satu penyakit dalam 10 penyakit terbanyak pada
pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah 30.154 kasus
(4,9%) (Kurniyawan & Kosasih, 2014). Data dari Profil Kesehatan Provinsi
Riau tahun 2013, persentase pola penyakit rawat jalan semua golongan umur
di puskesmas, gastritis diurutkan ketiga dari 10 penyakit terbesar di seluruh
4
Puskesmas Provinsi Riau yaitu (6,52%) proporsi (Riskesda Provinsi Riau,
2013).
Menurut data dari Word Health Organization (WHO) tahun 2012, di seluruh
dunia 60-90% anak sekolah dan hampir 100% orang dewasa memiliki karies
yang sering menimbulkan rasa sakit serta dapat memengaruhi kualitas hidup.
Menurut Riskesdas tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi terjadinya
karies aktif pada penduduk Indonesia dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu
dari 43,4% menjadi 53,2% mengalami karies aktif, karies yang belum
ditangani atau belum dilakukan penambalan, maka di Indonesia terdapat
93.998.727 jiwa yang menderita karies aktif (Dengah, 2015). Prevalensi
karies aktif (karies yang belum ditangani) pada anak remaja usia 12 tahun
adalah 43,4?n yang pernah mengalami karies sebesar 67,2% (Kemenkes
RI, 2012). Di Provinsi Riau, prevalensi karies adalah 53,3?n yang
pengalaman karies adalah 75,4%. Terdapat tiga kabupaten dengan prevalensi
pengalaman karies tertinggi dibanding angka provinsi, yaitu Pelalawan
(64,5%), Bengkalis (62,7%) dan Rokan Hilir (61,6%) (Riskesda Provinsi
Riau, 2013).
Berbagai studi menunjukkan bahwa factor-faktor yang berhubungan dengan
konsumsi minuman bersoda pada remaja diantaranya pengetahuan remaja
mengenai dampak konsumsi minuman bersoda (Ariani, 2012), pengaruh
teman sebaya (Meiriasari & Mulyani, 2013), pengaruh media massa
(Dilapanga, 2008) dan uang saku (Noor Risqi Skriptiana, 2009)
Berdasarkan penelitian Fauzia (2012), pada siswa SMP Islam PB Soedirman
Jakarta Timur, dari 78 responden dengan pengetahuan gizi kurang sebanyak
50,0% (39 responden) mengonsumsi minuman bersoda dengan frekuensi
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 170 responden yang
terpengeruh dengan teman sebaya sebanyak 62,9% responden memiliki
tingkat kesukaan yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian Ernida (2013),
remaja memperoleh informasi tentang aspek keamanan makanan 90,4 ?ri
5
televisi dan 75?ri internet, tingginya persentase sumber informasi dan
media massa sehingga mampu menyajikan informasi yang lebih menarik.
Berdasarkan survey awal 10 (sepuluh) sekolah di kota Pekanbaru, terdapat 5
sekolah yang menyediakan akses minuman bersoda dengan jumlah konsumsi
tertinggi yaitu: SMA Handayani Pekanbaru, SMA PGRI Pekanbaru, SMA
Nurul Falah Pekanbaru, SMA Olahraga Masmur dan SMA Al-Azhar Syifa
Budhi Pekanbaru sedangkan 5 (lima) sekolah lainnya dari segi tingkat
konsumsinya terbilang cukup rendah yaitu: SMA Taruna Pekanbaru, SMA
SERIRAMA Pekanbaru, SMA YLPI Pekanbaru, SMA TRIBAKTI
Pekanbaru dan SMA Setia Darma Pekanbaru. Data didapatkan peneliti
dengan menyebarkan kuesioner dengan 5 responden dan wawancara penjaga
kantin mengenai tingkat konsumsi tingkat konsumsi minuman bersoda.
Dari survey tersebut diketahui bahwa SMA Al-Azhar Syifa Budhi Pekanbaru
merupakan sekolah yang tingkat konsumsinya yang paling tinggi, hal ini
terlihat dari 5 responden yang setiap harinya mengkonsumsi minuman
bersoda. Wawancara singkat peneliti dengan penjual kantin menyatakan
bahwa tingkat pembelian minuman bersoda disekolah tersebut merupakan
minuman yang cukup digemari siswa-siswi setelah minuman teh dalam
kemasan, jenis yang paling disukai yaitu Fanta, Sprite dan Coca-cola.
Kurangnya pengetahuan responden tentang dampak negative dari minumminuman bersoda berkepanjangan, dan besarnya pengaruh teman, seringnya
melihat iklan di televisi membuat mereka tertarik untuk mencoba serta
tingginya uang saku untuk mengkonsumsi minuman bersoda. Padahal sebagai
responden mengetahui jajanan yang lebih sehat dari pada minuman bersoda
juga tersedia di kantin seperti minuman susu siap saji dalam kemasan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian tertarik untuk mengetahui
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Konsumsi Minuman Bersoda Pada
Remaja Di SMA Al-Azhar Syifa Budhi Pekanbaru Tahun 2018.